Wednesday, February 26, 2014

Pembelajaran Untuk Tunadaksa

Nama Kelompok :
Kharisma Fikri Mahar (1335125785)
Yenny Zuhlia R       (1335125815)
Rahmi Amalia A          (1335125801)
Intan Dwi P               (1335125420)
Rizky Novianti         (1335121123)


(PLB 2012 Kelas A)

A. Karakteristik Anak Tunadaksa

1.    Karakteristik Kognitif
Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski keduanya termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun jika ditelaah lebih lanjut terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud konkretnya dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif. Khususnya anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, presepsi, maupun control geraknya, bahkan beberapa penelitian sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita).

2.    Karakteristik Intelegensi Tunadaksa
Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil penelitian yang menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat intelegensi anak tunadaksa yang berumur antara 3 sampai 6 tahun sebagai berikut:
1.     IQ tunadaksa berkisar antara 35-138.
2.     Rata-rata mereka adalah IQ 57.
3.     Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:
Þ    Anak polio mempunyai rata-rata intelegensi yang tinggi yaitu IQ 92.
Þ    Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88
Þ    Anak yang cacat konginetal rata-rata IQ 61
Þ    Anak yang sapstik rata-rata IQ 69
Þ    Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata IQ 74
Pada anak cerebal palsy, kelainan yang mereka derita secara langsung menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan intelegensi. Mereka lebih banyak mengalami kesulitan daripada anak tunadaksa pada umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan baik dalam komunikasi, persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi anak cerebral palsy tidak menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ semakin sedikit jumlahnya.


3.    Karakteristik Kepribadian Anak Tunadaksa
Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain:
Þ    Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi
Þ    Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over protective.
Þ    Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah presepsi sosial yang dapat menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian sosial yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan yang dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian penderita sendiri.

4.    Karakteristik Fisik
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.

5.    Karakteristik Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa
Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan, atau kehendaknya.  Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan perhatian yang lama terhadap sesuatu, merasa terasing dari keluarga dan temannya.

6.    Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa
Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya.

7.        Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa
Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa. Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tunadaksa.
Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan anak-anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial anak tunadaksa.



B. Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa dalam Seting Inklusif
Layanan pendidikan anak tunadaksa memiliki subtansi-subtansi, diantaranya mengenai tujuan pendidikan anak tunadaksa, tempat pendidikan, sistem pendidikan, dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar bagi anak tunadaksa.

a.    Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Sasaran pendidikan pada tunadaksa bersifat dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.  Pendidikan anak tunadaksa perlu mengembangkan 7 aspek yaitu:
Ø  Pengembangan Intelektual dan Akademik
Ø  Membantu Perkembangan Fisik
Ø  Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Ø  Mematangkan Aspek Sosial
Ø  Mematangkan Moral dan Spiritual
Ø  Meningkatkan ekspresi diri
Ø  Mempersiapkan Masa Depan Anak

b.    Sistem Pendidikan
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000).

c.    Kebutuhan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa secara umum hampir tidak memerlukan program pembelajaran yang berbeda dengan anak normal lainnya. Bahkan sebagian dari mereka khususnya yang mengalami gangguan ortopedi memiliki kemampuan kognisi yang relatif baik seperti halnya teman-teman yang normal lainnya. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas:
Ø Keluasan Gerak
Derajat gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian tersebut maka hal penting yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke semua penjuru layanan pendidikan di sekolah dengan memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah akses utama adalah yang berkaitan dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan kelas, dan fasilitas sekolah lainnya (ruang perpustakaan, laboratorium, ruang olahraga, dan toilet).
Ø Latihan Keterampilan Menolong Diri (Self Help)
Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat membutuhkan latihan batu diri (self help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan aktivitas mereka sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum. Hal tersebut diharapkan anak bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Contohnya kegiatan makan dan minum, kegiatan yang melibatkan motorik halus (menggambar, menulis, melipat), keterampilan buang air kecil. Dari contoh tersebut merupakan hal yang penting yang harus dikuasai anak di sekolah.
Ø Kebutuhan Psikososial
Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki kesulitan dalam mengembangkan sense of self esteem yang positif dan mengalami kecemasan yang lebih besar dibandingkan anak normal lainnya (Harvey dalam Iriyanto, 2010:63). Untuk mendukung agar anak tunadaksa memiliki sifat  sense of self esteem yang positif, maka seluruh anggota keluarga, guru di sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas harus memberikan dukungan dan bisa menerima anak dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Dengan dukungan yang positif ini diharapkan anak dapat menerima keadaan dirinya secara positif dan pada akhirnya menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di sekolah.

d.    Strategi Membantu Anak Tunadaksa agar Berhasil di Sekolah
Bagi siswa berkelainan fisik dalam belajar di sekolah membutuhkan lingkungan yang kondusif, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun sosial. di sekolah inklusi integrasi pembelajaran antara siswa normal dan berkelainan fisik memerlukan penggabungan antara guru reguler dengan guru pembimbing khusus atau dengan tenaga profesional lainnya. Demikian juga di dalam kelas anak sangat membutuhkan sikap positif yang dapat diterima dari guru dan teman lainnya.
Ø  Pengajaran Kemandirian
Ø  Belajar Kelompok
Ø  Team Teaching 

Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.

a.    Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.

b.        Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

c.    Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari dalam Astati, ).Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
Ø  Macam-macam ruangan khusus, Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
Ø  Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
Ø  Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.
Ø  Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.
Ø  Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar anak dapat mandiri berambulasi.
Ø  Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
Ø  Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.
Ø  Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.


Ø  Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman



0 comments:

Post a Comment

    Lorem Ipsum

    Tugas Pertemuan 1:

    Pandangan tentang matematika bisa dilihat dari sudut anak, orang tua dan guru. Pandangan guru tentang matematika akan menentukan pembelajaran di kelas.


    1. Bagaimana sudut pandang anda sebagai calon guru terhadap matematika
    2. Bagaimana sudut pandang anak dan orang tua terhadap matematika

    Hasil survei saudara diketik 1,5 spasi, minimal 2 halaman A4.



    Tugas Pertemuan ke 2.

    Jelaskan Tujuan Pembelajaran Matematika berdasarkan bahan kuliah...


    Followers