Nama Kelompok :
Kharisma
Fikri Mahar (1335125785)
Yenny Zuhlia
R (1335125815)
Rahmi Amalia
A (1335125801)
Intan Dwi P (1335125420)
Rizky
Novianti (1335121123)
A. Karakteristik
Anak Tunadaksa
1.
Karakteristik Kognitif
Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu
tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski keduanya termasuk dalam tunadaksa
yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun jika ditelaah lebih lanjut
terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud konkretnya
dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada
anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif.
Khususnya anak cerebral
palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan
fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi,
presepsi, maupun control geraknya, bahkan beberapa penelitian sebagian besar
diketahui terbelakang mental (tunagrahita).
2.
Karakteristik Intelegensi Tunadaksa
Lee dalam Soemantri (2007:129)
mengungkapkan hasil penelitian yang menggunakan tes Binet untuk mengukur
tingkat intelegensi anak tunadaksa yang berumur antara 3 sampai 6 tahun sebagai
berikut:
1. IQ tunadaksa berkisar antara 35-138.
2. Rata-rata mereka adalah IQ 57.
3. Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:
Þ Anak polio mempunyai rata-rata
intelegensi yang tinggi yaitu IQ 92.
Þ Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88
Þ Anak yang cacat konginetal rata-rata
IQ 61
Þ Anak yang sapstik rata-rata IQ 69
Þ Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata
IQ 74
Pada anak cerebal palsy, kelainan yang
mereka derita secara langsung menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan
intelegensi. Mereka lebih banyak mengalami kesulitan daripada anak tunadaksa
pada umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan baik dalam komunikasi,
persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi anak cerebral
palsy tidak menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ semakin sedikit jumlahnya.
3.
Karakteristik Kepribadian Anak Tunadaksa
Terdapat hal yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain:
Þ
Terhambatnya
aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi
Þ
Timbulnya
kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat terhadap
perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over
protective.
Þ
Perlakuan
orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak merasa
bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas,
efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat
menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki
inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi
perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah
presepsi sosial yang dapat menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh
terhadap self concept-nya.
Hal ini disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh
tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem
penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu
membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi
praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian sosial
yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung
memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap
masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan yang dialami anak tunadaksa
seringkali bertentangan dengan penilaian penderita sendiri.
4.
Karakteristik Fisik
Aspek fisik merupakan potensi yang
berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada anak tunadaksa, potensi
itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu tidak
utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat
dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang
mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh
kerusakan tersebut.
5.
Karakteristik Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa
Setiap manusia memilki potensi untuk
berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui
proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori
motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa/bicaranya
tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy. Terjadinya
kelainan bicara pada anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam
kondisi motorik organ bicaranya akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor.
Gangguan bicara pada anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi,
phonasi, dan sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak
cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem psikologis yang
disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan, atau kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung,
tidak memberikan perhatian yang lama terhadap sesuatu, merasa terasing
dari keluarga dan temannya.
6.
Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa
Banyak masalah yang muncul sehubungan
dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal yang berinteraksi dengan anak-anak
tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan
mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak
tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara
bertahap. Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar
mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan
pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa
dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang
bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa.
Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap
terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi
secara berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak
tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam
menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya.
7.
Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa
Keanekaragaman pengaruh perkembangan
yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan
munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa. Sebenarnya
kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi
akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan
tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak
tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap
sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tunadaksa.
Sikap orang tua, keluarga, teman
sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan mempengaruhi
respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan anak-anak normal
terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa
yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka
terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan
sosial anak tunadaksa.
B. Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa dalam
Seting Inklusif
Layanan pendidikan anak tunadaksa
memiliki subtansi-subtansi, diantaranya mengenai tujuan pendidikan anak
tunadaksa, tempat pendidikan, sistem pendidikan, dan pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar bagi anak tunadaksa.
a.
Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa
mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan
sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam
dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Sasaran pendidikan pada
tunadaksa bersifat dual
purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan
pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya
kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa. Pendidikan anak
tunadaksa perlu mengembangkan 7 aspek yaitu:
Ø Pengembangan Intelektual dan Akademik
Ø Membantu Perkembangan Fisik
Ø Meningkatkan Perkembangan Emosi dan
Penerimaan Diri Anak
Ø Mematangkan Aspek Sosial
Ø Mematangkan Moral dan Spiritual
Ø Meningkatkan ekspresi diri
Ø Mempersiapkan Masa Depan Anak
b.
Sistem Pendidikan
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di
Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa
ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak
tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis)
telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak
tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan
sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya,
mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran
yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000).
c.
Kebutuhan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa secara umum hampir
tidak memerlukan program pembelajaran yang berbeda dengan anak normal lainnya.
Bahkan sebagian dari mereka khususnya yang mengalami gangguan ortopedi memiliki
kemampuan kognisi yang relatif baik seperti halnya teman-teman yang normal
lainnya. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru
sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas:
Ø Keluasan Gerak
Derajat gangguan fisik yang dialami oleh
tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Berkaitan
dengan kebervariasian tersebut maka hal penting yang harus diperhatikan oleh
guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke semua penjuru layanan
pendidikan di sekolah dengan memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah
akses utama adalah yang berkaitan dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan
kelas, dan fasilitas sekolah lainnya (ruang perpustakaan, laboratorium, ruang
olahraga, dan toilet).
Ø Latihan Keterampilan Menolong Diri (Self Help)
Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal
sangat membutuhkan latihan batu diri (self
help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan
aktivitas mereka sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum.
Hal tersebut diharapkan anak bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada
orang lain. Contohnya kegiatan makan dan minum, kegiatan yang melibatkan
motorik halus (menggambar, menulis, melipat), keterampilan buang air kecil.
Dari contoh tersebut merupakan hal yang penting yang harus dikuasai anak di
sekolah.
Ø Kebutuhan Psikososial
Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap perkembangan psikologisnya. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki kesulitan dalam mengembangkan sense of self esteem yang
positif dan mengalami kecemasan yang lebih besar dibandingkan anak normal
lainnya (Harvey dalam Iriyanto, 2010:63). Untuk mendukung agar anak tunadaksa
memiliki sifat sense of self
esteem yang positif, maka seluruh anggota keluarga, guru di
sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas harus memberikan dukungan dan bisa
menerima anak dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Dengan dukungan
yang positif ini diharapkan anak dapat menerima keadaan dirinya secara positif
dan pada akhirnya menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di sekolah.
d.
Strategi Membantu Anak Tunadaksa agar Berhasil di
Sekolah
Bagi siswa berkelainan fisik dalam
belajar di sekolah membutuhkan lingkungan yang kondusif, baik lingkungan fisik,
psikologis, maupun sosial. di sekolah inklusi integrasi pembelajaran antara
siswa normal dan berkelainan fisik memerlukan penggabungan antara guru reguler
dengan guru pembimbing khusus atau dengan tenaga profesional lainnya. Demikian
juga di dalam kelas anak sangat membutuhkan sikap positif yang dapat diterima
dari guru dan teman lainnya.
Ø Pengajaran Kemandirian
Ø Belajar Kelompok
Ø Team Teaching
Prinsip
Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan
pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.
a.
Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa
sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri
anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan
pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga
dapat membantu proses pemahaman.
b.
Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa
titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model
layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal,
layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki
kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
c.
Penataan
Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami
gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan
khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi
ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan
anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan
memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak
dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di
ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari dalam Astati, ).Beberapa kondisi
khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
Ø Macam-macam ruangan khusus, Jalan
masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak
tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat
bergerak dengan aman.
Ø Tangga sebaiknya disediakan jalur
lantai yang dibuat miring dan landai
Ø Lantai bangunan baik di dalam dan di
luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.
Ø Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih
lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.
Ø Untuk menghubungkan bangunan/kelas
yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan
ada pegangan di tembok agar anak dapat mandiri berambulasi.
Ø Pada beberapa dinding lorong dapat
dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi
jalan yang salah.
Ø Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat
dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.
Ø Dipasang WC duduk agar anak tidak
perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
Ø Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja
dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak,
misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi,
dan dipasang belt (sabuk)
agar aman
0 comments:
Post a Comment